BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Provinsi
Kalimantan Selatan merupakan provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam
di Pulau Kalimantan. Di sana berdiri kerajaan Islam salah satunya yaitu
Kerajaan Banjar atau Kesultanan Banjar. Hikayat Banjar sebagai salah satu
sumber yang banyak dipakai dalam mempelajari sejarah Banjar, memerlukan seleksi
hati-hati karena selain terdapat unsur-unsur legindaris juga ia merupakan
dokumen kerajaan yang ditulis atas perintah raja yang tidak bisa dilepaskan
dengan politik raja yang berkuasa. Tidak ada disebutkannya tahun-tahun peritiwa
atau masa pemerintahan raja-raja di Kerajaan Banjar dalam Hikayat tersebut,
menyebabkan penulis-penulis sejarah tentang Banjar masih terdapat perbedaan
tentang masa-masa pemerintahan raja-raja tersebut.
Kebudayaan
lokal yang dimiliki daerah Banjarmasin juga banyak sekali seperti seni
bangunan, seni tulis, seni tari, tradisi-tradisi lainnya. Budaya-budaya
tersebut sebagian sudah mengalami akulturasi dari kebudayaan lain seperti
budaya Islam yang masuk di daerah Banjarmasin dan ada juga budaya yang luntur
akibat budaya-budaya modern yang lebih praktis dan maju.
2.
Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana sejarah Islam masuk ke
Banjarmasin?
b.
Apakah ada kerajaan Islam di
Banjarmasin?
c.
Apa budaya lokal di Banjarmasin?
d.
Apa budaya lokal terakulturasi
dengan budaya baru di Banjarmasin?
3.
Tujuan
penulisan
a.
Untuk mengetahui sejarah Islam
masuk ke Banjarmasin.
b.
Untuk mengetahui kerajaan Islam di
Banjarmasin.
c.
Untuk mengetahui budaya lokal di
Banjarmasin.
d.
Untuk mengetahui budaya lokal
terakulturasi dengan budaya baru di Banjarmasin.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MASUKNYA ISLAM DI BANJARMASIN
Penduduk asli
Pulau Kalimantan disebut orang Dayak. Orang Dayak yang mendiami Pulau
Kalimantan tersebut terdiri atas beberapa suku. Masing-masing suku mempunyai
kepercayaan masing-masing. Tetapi pada dasarnya kepercayaan mereka itu
mempunyai persamaan-persamaan yang banyak. Istilah yang populer menyebut
kepercayaan mereka adalah kepercayaan Kaharingan. Penduduk asli tersebut
kemudian terdesak ke arah pedalaman. Di pesisir barat terdesak oleh orang-orang
Melayu dan Cina, di selatan terdesak oleh orang-orang Melayu dan orang-orang
Jawa, dan di bagian tenggara terdesak oleh orang-orang Bugis, Makasar dan Sulu.
Awal masuknya
Islam ke Kalimantan Selatan tidak bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Banjar
tetapi masuknya Islam sendiri ada sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar. Data-data
yang menunjukkan bahwa Islam telah masuk dan dikenal orang Banjar di antaranya
yaitu:
a.
Adanya pedagang Gujarat dan
pedagang Cina yang sudah beragama Islam, yang pada sekitar awal abad ke 15
dalam perjalanan mereka singgah di pelabuhan-pelabuhan Kalimantan Selatan.
b.
Adanya berita tentang pedagang
Islam dari Jawa (Raden Paku) yang pernah singgah dan berdagang di pelabuhan
Banjarmasin.
c.
Adanya anjuran Patih Masih agar
Raden Samudera meminta bantuan kepada Sultan Demak.
d.
Adanya kelompok pedagang dari luar
seperti orang Melayu, orang Cina, orang Bugis, orang Makasar, orang Jawa, yang
menyatakan membantu raden Samudera ketika timbul perlawanan terhadap Pangeran
Tumenggung.
Dengan
demikian agama Islam yang masuk ke Kalimantan Selatan ini, berkembang pada masa
permulaannya di kalangan masyarakat yang sebelumnya telah dipengaruhi oleh
unsur-unsur Kaharingan dan Syiwa-Budha. Agama Islam yang masuk itu kemudian
dianut oleh sebagian besar masyarakat Kalimantan Selatan, yang sebelumnya telah
menganut kepercayaan Kaharingan, agama Syiwa-Budha dari agama-agama tersebut.
Sehingga dapat dikatakan bahwa ajaran-ajaran Islam yang mula-mula berkembang di
daerah Kalimantan Selatan ini, menghadapi pengaruh dari unsur-unsur kepercayaan
tersebut.
B.
KERAJAAN ISLAM DI BANJARMASIN
Kerajaan
Banjar adalah kerajaan Islam pertama di Kalimantan selatan yang terbentuk pada
permulaan abad ke-16 setelah Islam datang ke Banjarmasin. Kerajaan Banjar adalah sebuah kesultanan
wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.
Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke
beberapa tempat dan terakhir di Martapura.
Kerajaan
Banjarmasin pada hakekatnya adalah lanjutan dari Kerajaan Negara Daha. Maharaja
Sukarama yang menggantikan Sekar Sungsang raja pertama di Negara Daha telah
mewasiatkan kepada Patih Aria Tarenggana bahwa apabila ia meninggal maka yang
berhak menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera. Sepeninggalnya
Maharaja Sukarama di Negara Daha terjadi kekacauan. Pangeran Mangkubumi salah
seorang putranya berusaha untuk naik tahta. Maka untk keselamatan Raden
Samudera, Patih Aria Terenggana menyuruhnya agar meninggalkan istana. Karena
itu Raden Samudera kemudian harus hidup menyamar sebagai anak nelayan. Karena
suatu fitnah kemudian dibunuh oleh Pangeran Tumenggung, adiknya sendiri. [1]
Sementara itu
Patih Masih penguasa bandar di Banjarmasih (Banjarmasin) yang mengetahui
perihal nasib Raden Samudera kemudian mencarinya untuk dirajakan. Selanjutnya
terdapat kesepakatan lima orang Patih, yakni Patih Masih, Patih Muhur, Patih
Balit, Patih Kuwin dan Patih Balitung untuk merajakan Raden Samudera di daerah
Banjar. Kesepakatan itu didasari pertimbangan-pertimbangan:
a). Raden Samudera mempunyai hak atas kerajaan,
karena wasiat Maharaja Sukarama agar cucunya (Raden Samudera) yang
menggantikannya.
b). Patih Masih dan patih-patih lainnya di daerah
Banjar, hendak melepaskan diri terhadap kewajiban senantiasa mengantar upeti ke
Negara Daha.
c). Sehubungan
dengan kepentingan perekonomian daerah, Patih Masih hendak memindahkan kegiatan
perdagangan dari bandar Muara Bahan ke daerah Banjar.
Tindakan para
Patih yang bersepakat merajakan Raden Samudera tersebut, menyebabkan timbulnya
pertentangan antara Negara Daha dengan Banjarmasih. Dalam usaha menyeleikan
pertentangan tersebut, Raden Samudera atas anjuran Patih Masih meminta bantuan
kepada Kerajaan Islam Demak. Sultan Demak mau membantu Raden Samudera dengan
syarat apabila menang Raden Samudera bersedia masuk islam. Kelompok-kelompok
yang membantu Raden Samudera dalam prang melawan Pangeran Tumenggung adalah:
1. Seribu orang Demak;
2. Rakyat
daerah-daerah yang dahulu menjadi taklukan Maharaja Sukarama, daerah-daerah itu
adalah: Sambas, Batang Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pambuang, Sampit,
Mandawai, Sebangau, Biaju Besar, Biaju Kecil, Karasikan, Kutai, Berau, Pasir,
Pamukan, Pulau Laut, Satui, Hasam-hasam, Kintap, Sawarangan, Tambangan Laut,
dan Tabanio.
3. Kelompok
pedagang, yakni orang Melayu, orang Cina, orang Bugis, orang Makasar, orang
Jawa yang ada di Banjarmasih.[2]
Akhir dari
pertentangan antara Raden Samudera dengan Pangeran Tumenggung tersebut terjadi
dalam suatu insiden di atas perahu telangkasan, di mana Pangeran Tumenggung
menyerahkan tahtanya kepada Raden Samudera, karena tergetar hatinya menyaksikan
kemanakannya merelakan dirinya dan menyatakan dirinya tidak mau melawannya.
Peristiwa tersebut dikuti dengan penyerahan peralatan kerajaan untuk dibawa ke
Banjarmasin. Selanjutnya Raden Samudera menyerahkan daerah Batang Amandit dan
Batang Alai untuk tetap diatur oleh pamannya Pangeran Tumenggung. Raden
Samudera menetapkan pusat kerajaan itu di Banjarmasin. Ia kemudian diislamkan
oleh seorang Penghulu dari Demak. Dan oleh seorang Arab ia diberi nama Sultan
Suriansyah. Kerajaan yang dibangun Sultan Suriansyah dan berpusat di
Banjarmasin (Kuin) tersebut oleh Sultan Banjar ke empat (Sultan Mustainullah)
ibu kota kerajaan dipindahkan ke Martapura. Perpindahan tersebut didasari
pertimbangan-pertimbangan bahwa di tempat itu selain tanahnya bertuah, maka
karena tempatnya jauh di pedalaman akan sukar didatangi oleh orang-orang yang
tidak beragama Islam. Salah seorang Sultan Banjar yang dalam masa
pemerintahannya berusaha menanamkan ajaran Islam kepada rakyatnya adalah Sultan
Adam (1825-1857). Melalui Undang-Undang kerajaan yang terkenal dengan nama Undang-Undang
Sultan Adam, ia menyuruh sekalian rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan
agar ber-i’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah dan melarang ber-i’tiqad ahlal bidaat.
Pada waktu itu
di ibu kota Kerajaan Banjar hidup seorang ulama besar bernama Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari. Usahanya dalam menyebarkan Islam di daerah Kerajaan Banjar
pada waktu itu dimulai dengan melakukan pengajian, kemudian menyebarkan anak
cucunya (muridnya) yang telah memperoleh kealiman ke daerah-daerah pedalaman,
di samping itu menulis kitab-kitab agama dalam bahasa Melayu dengan aksara
Arab. Di mana mereka tinggal maka di tempat itupun kemudian berlangsung pula
pengajian. Demikianlah kemudian pengajian-pengajian yang diselenggarakan anak
cucu Syekh Muhammad Arsyad tidak hanya terdapat dalam wilayah Kalimantan
Selatan, tetapi juga terdapat di Pontianak Kalimantan Barat, bahkan ada cucu
beliau yang bernama Syekh Haji Abdurrahman Siddiq yang menyelenggarakan
pengajian sambil melakukan pembukaan tanah tanah pertanian/perkebunan di Sapat-Tambilahan.[3]
C.
BUDAYA LOKAL DI BANJARMASIN
1.
Rumah Banjar
Rumah Banjar
adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya
antara lain mempunyai lambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental,
dekoratif dan simetris. Rumah tradisional Banjar adalah tipe-tipe rumah khas
Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum tahun 1871
sampai tahun 1935. Dari sekian banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan
Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas
rumah adat suku Banjar. [4]
Dulu, rumah
adat ini merupakan tempat tinggal Sultan Banjar sehingga menduduki tingkat
tertinggi dari seluruh tipe rumah adat Banjar lainnya. Disebut Rumah Bubungan
Tinggi karena bubungan atapnya berbentuk lancip dengan sudut 45 derajat menjulang tinggi ke atas. Rumah Bubungan
Tinggi ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar
dipimpin oleh Sultan Suriansyah atau yang bergelar Panembahan Batu Habang
(1596–1620 Masehi).
Dari segi
fisik, bentuk bangunan Rumah Bubungan Tinggi diibaratkan tubuh manusia yang
terdiri dari 3 bagian. Secara vertikal, rumah adat yang berbentuk rumah
panggung ini terdiri dari kolong rumah (bawah) yang melambangkan kaki, badan
rumah (tengah) yang melambangkan badan, dan atap rumah (atas) yang melambangkan
melambangkan kepala. Secara horizantal, anjungan yang berada di sisi kanan dan
kiri melambangkan tangan kanan dan kiri.
Dari segi filosofi,
bentuk rumah melambangkan perpaduan antara dunia atas dan bawah, sedangkan
penghuninya berada di antara kedua dunia tersebut. Filosofi ini lahir dari
kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta terdiri dari dua
bagian yaitu alam atas dan bawah. Wujud filosofi ini terlihat pada
ornamen-ornamen rumah adat Banjar seperti ukiran burung enggang sebagai lambang
dunia atas, dan ukiran naga sebagai lambang dunia bawah.[5]
Selain itu,
ornamen-ornamen yang ada pada bangunan Rumah Bubungan Tinggi juga dipengaruhi
oleh unsur budaya suku Dayak dan Islam. Ornamen yang dipengaruhi oleh unsur
budaya suku Dayak umumnya menggunakan motif flora dan fauna, seperti buah
manggis, belimbing, mengkudu, dan nanas. Sedangkan motif tanaman yang digunakan
memiliki manfaat, baik untuk bahan makanan maupun obat-obatan seperti tanaman
kangkung, jamur, cengkeh, tunas bambu (rebung), sirih, sebagainya. Ada juga
yang menggunakan motif dari tanaman yang biasa digunakan dalam upacara-upacara
adat seperti bunga cempaka, kenanga, pakis, mawar, dan sebagainya. Sementara
itu, unsur budaya Islam terlihat pada ukiran-ukiran kaligrafi Arab seperti
kalimat syahadat, nama-nama khalifah, shalawat, maupun ayat-ayat tertentu dalam
Al Qur’an.
2.
Tradisi lisan
Tradisi lisan
oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi
lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar
abad ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari
bahasa Arab, yakni madah (ﻤﺪﺡ) yang artinya pujian.
Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau
dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu
sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar
di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita
tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut
berasal dari negeri Cina dan mulanya menggunakan bahasa Tionghoa. Namun,
setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya
disesuaikan menjadi bahasa Banjar.
D.
AKULTURASI BUDAYA LOKAL
1.
Baayun Mulud
Upacara Baayun
Mulud atau Baayun Anak adalah salah satu dari rangkaian upacara daur hidup yang
berlaku di dalam tradisi orang-orang banjar yang sebagian besar berdomisili di
Kalimantan Selatan. Selain sebagai tradisi yang menjadi rangkaian dari upacara
daur hidup urang (orang) Banjar, juga dapat dijadikan sebagai sarana
upacara tolak balak.
Masyarakat
Suku Banjar yang mendiami daerah Kalimantan Selatan dikenal sebagai kelompok
suku bangsa yang berkehidupan religius. Meskipun demikian, orang Banjar juga
masih memegang teguh tradisi dan adat-istiadat yang telah diwariskan oleh nenek
moyang. Penerapan adat-istiadat tersebut, misalnya terlihat pada tahapan siklus
kehidupan orang Banjar (dan juga Dayak) yang dahulu menganut ajaran kepercayaan
Kaharingan dengan pola hidup yang berdasarkan keyakinan kepada ajaran nenek
moyang.
Seiring dengan
masuk dan berkembangnya ajaran agama Islam dalam kehidupan orang Banjar,
terjadilah proses alkulturasi antara ajaran yang dibawa oleh para penyebar
agama Islam dengan kebudayaan lokal yang sudah ada sebelumnya, salah satunya
dalam penyelenggaraan upacara Baayun mulud atau Baayun Anak. Rangkaian upacara
daur hidup itu sendiri meliputi upacara kehamilan, kelahiran, masa anak-anak
menjelang dewasa, perkewinan, dan kematian. Upacara Baayun Mulud termasuk ke
dalam upacara yang ditujukan untuk anak-anak menjelang dewasa tepatnya ketika
anak antara 0-5 tahun.
Sebelum
beralkulturasi dengan ajaran Islam, upacara Baayun Anak dilaksanakan sebagai
sarana atau media untuk mengelkan si anak kepada Datu Ujang, yakni sosok
leluhur yang digambarkan sakti mandraguna dan memilki pengaruh sangat besar.
Orang Banjar pada zaman dahulu menyakini bahwa anak-anak mereka bisa memperoleh
keberkatan dalam hidupnya, tidak mudah menangis dan terhindar dari segala
marabahaya. Untuk itu, pada zaman dahulu, setiap anak harus melelui upacara
Baayun Anak sebagai tanda penghormatan dan sekaligus memberi persembahan kepada
Datu Ujang.[6]
Pada
perkembangannya, penerapan upacara adat baayun Anak berakulturasi dengan dakwah
ajaran Islam. Penghormatan yang sebelumnya dipersembahkan kepada leluhur,
diselaraskan dengan ajaran Islam, yakni agar si anak mendapat sifat-sifat baik
seperti yang dimiliki oleh Nabi Muhammad. Selaras dengan itu, namanya pun berganti
dari Baayun Anak menjadi Baayun Mulud karena ritual adat ini diselanggarakan
pada setiap bulan Mulud atau Rabi’ul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad. Jika
diuraikan dari namanya, istilah “Baayun Mulud” terdiri dari dua kata yaitu
“baayun” dan ‘mulud”. Kata “baayun” berarti melakukan aktivitas ayunan atau
buaian, atau kegiatan mengayun bayiyang biasanya dilakukan oleh seseorang untuk
menidurkan anaknya. Sedangkan kata “mulud”, berasal dari bahasa arab “maulud”,
merupakan ungkapan masyarakat Arab untuk mnyebut peristiwa kelahiran Nabi
Muhammad. Dengan demikian, istilah Baayun Mulud mempunyai arti sebagai kegiatan mengayun anak (bayi) sebagai
ungkapan syukur atas kelhiran Nabi Muhammad. [7]
Tradisi ini
rutin diselenggarakan setiap tahun, pada setiap tanggal 12 bulun Mulud atau
Rabi’ul Awal tahun Hijriyah untuk menyambut dan memperingati hari kelahiran
Nabi Muhammad. Akan tetapi, jika upacara Baayun Mulud dilaksanakan tanggal
tersebut juga diperbolehkan. Upacara ini biasanya dimulai pada sekitar pukul
10.00 pagi. Upacara ini dilakukan ketika anak berusia 0-5 tahun. Namun
biasanya, saat bayi berusia 40 hari, upacara ini sudah diselenggarakan . Tempat
pelaksanaannya ada yang diselenggarakan di rumah, namun bisa juga di balai
desa, masjid, atau di tempat yang lapang secara massal.
Peralatan dan Bahan
a.
Ayunan
Dibuat dari
tapih bahalai atau kain sarung wanita yang pada ujungnya diikat dengan tali
atau pengait. Ayunan ini biasanya digantung pada penyangga ruangan tengah
rumah. Pada tali tersebut diikatkan Yasin, daun jariangau, kacang parang, dan
ketupat Guntur, dengan tujuan sebagai penangkal jin (makhluk halus) atau
penyakit yang dapat mengganggu bayi. Posisi bayi yang diayun ada yang berbaring
da nada pula posisi duduk dengan istilah “dipukung”. Kain ayunan ini terdiri
atas 3 (tiga) lapis. Lapisan paling atas mengunakan kain sasaringan
(kain tenun khas Banjar) bermotif bahindang (pelangi), lapisan tengah
menggunakan kain kuning (kain belacu yang diberi warna kuning dari sari kunyit)
dan lapisan paling bawah memakai kain bahalai (kain panjang tanpa
sambungan jahitan).
b.
Hiasan Ayunan
Hiasan ayunan terdiri
dari janur pohon nipah atau pohon kelapa atau pohon enau. Jenis-jenis hiasan
ayunan yang dipersiapan dalam pelaksanaan yang dipersiapkan dalam pelaksanaan
upacara adat Baayun Mulud antara lain tangga puteri tangga pangeran, paying
singgasana, patah kankung, kembang serai, gelang-gelang atau rantai dan lain-lain.
c.
Piduduk
Piduduk adalah syarat upacara yang
berupa bahan-bahan mentah. Bahan-bahan yang termasuk piduduk antara lain 3,5
liter beras, 1 biji gula merah, sedikit garam (untuk anak laki-laki) atau
sedikit garam ditambah dengan minyak goreng (untuk anak perempuan).
d.
Sesaji
Sesaji adalah perlengkapan atau
syarat upacara. Sesaji yang diperlukan dalam perlaksanaan upacara adat Baayun
Mulud antara lain telur dan nasi lamak (lakatan) atau nasi ketan bersantan.
Sesaji disajikan di dalam piring yang diisi dengan susunan nasi lamak, kue
apem, kue cucur, inti kelapa, telur rebus, papari, pisang dan tape ketan.
Sesaji lainnya dan piduduk ditempatkan pada sebuah ember kecil, yakni berupa
beras, buah kelapa yang sudah dikupas kulitnya, sebungkus garam dan gula merah.[8]
Nilai-nilai
a.
Meneladani dan mengambil berkah
atas keluhuran dan kemuliaan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad.
b.
Wujud nyata kearifan lokal dalam
menerjemahkan hadits dan perintah Nabi untuk menuntut ilmu sejak dari buain
(ayunan).
c.
Sebagai pelestarian tradisi leluhur
namun dengan menjaga nilai-nilai keislaman.
d.
Sebagai salah satu upaya untuk
mewariskan dan mengenalkan tradisi urang Banjar generasi muda penerus
bangsa. [9]
2.
Basunat
Di Kalimantan
Selatan, istilah khitan dikenal dengan luas dengan sebutan basunat, yaitu
merupakan hal yang penting , bahkan keislaman seseorang belum dianggap sempurna
apabila orang tersebut belum basunat. Oleh karena itu orang- orang Banjar sejak
masih anak- anak laki- laki berusia kira- kira 6-12 tahun dan anak perempuan
(usianya yang lebih muda dari laki- laki) telah disunat.
Ritual sunat
dalam tradisi banjar memiliki makna dan arti yang penting. Karena itulah dalam
prakteknya upacara basunat ini diiringi dengan ritual budaya lokal masyarakat
banjar yang sangat kental dengan agama Islam. Dalam tradisi Banjar, sejak zaman
dulu praktek khitan diiringi dengan upacara atau ritual yang berhubungan erat
dengan unsur religi dan budaya lokal. Pada khitan anak laki-laki misalnya
pertama-tama sebelum disunat, si anak terlebih dulu dicukur, kemudian
dimandikan. Setelah itu si anak memekai sarung dan perhiasan wanita. Untuk
persiapan pelaksanaan upacara, terlebih dahulu disediakan piduduk, yaitu lilin,
beras, pisau, gula aren dan kelapa. Setelah semuanya siap, si anak kemudian
disunat oleh tukang sunat yang handal dan disaksikan oleh beberapa orang
kerabat dekat. Kemudian sebagai tanda bersyukur karena upacara telah selesai,
pada malam harinya diadakan acara selamatan mengundang masyarakat sekitar.
Selamatan diisi dengan pembacaan syair Maulid Nabi.[10]
Namun seiring
perkembangan zaman, budaya lokal muslim banjar mulai luntur dan jarang
dilaksanakan untuk mengiringi praktek khitan. Hal ini disebabkan karena ada
cara baru yang lebih mudah dalam mengkhitan anak dan tentunya tidak perlu
repot- repot harus mengguakan syarat- syarat yang terikat dengan tradisi. Cara
baru yang lebih mudah yaitu Orang tua tinggal membawa sang anak ke dokter atau
rumah sakit untuk dikhitan. Disana, si anak sudah ditangani oleh dokter atau
mantri yang ahli dan tentunya dengan perlengkapan para medis yang modern.
Dalam hal ini
perubahan upacara ritual khitan masyarakat muslim banjar telah dipengaruhi oleh
proses modernisasi, yaitu perkembangan praktek khitan yang menawarkan cara
lebih mudah dan praktis. Dengan unsur mudernisasi ini perlahan- lahan unsur
religi dan budaya lokal mulai terkikis, seiring dengan perkembangan zaman yang
terus bergerak maju.
BAB III
KESIMPULAN
Masuknya agama
Islam ke Kalimantan Selatan tidak identik dengan berdirinya Kerajaan Banjar
(Banjarmasin) di antaranya yaitu Islam masuk ke Kalimantan Selatan
setidak-tidaknya pada awal abad ke 15, bersama datangnya pedagang-pedagang
Gujarat dan Cina yang singgah berdagang di bandar-bandar Kalimantan Selatan dan
Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam pertama di Kalimantan selatan. Rajanya
bernama Raden Samudera, yang setelah
beragama Islam bernama Sultan Suriansyah.
Kebudayaan
lokal yang ada di Banjarmasin di antaranya seni bangunan berupa Rumah Banjar
yang biasa disebut Rumah Bubungan Tinggi. Rumah ini pada awalnya adalah rumah
para kesultanan Banjar. Seni lisan pada waktu itu berupa puisi sebagai hiburan
para rakyat. Kemudian Baayun Mulud adalah salah satu dari budaya yang mengalami
akulturasi dari budaya Islam. Salah satu budaya yang mulai luntur pada saat ini
adalah basunat (khitan) dikarenakan perkembangan zaman yang lebih modern.
DAFTAR PUSTAKA
http://ayu-septiningrum.blogspot.com,
diakses tanggal 28 November 2013
http://historycommunity.wordpress.com,
diakses tanggal 27 November 2013
http://melayuonline.com, diakses
tanggal 27 November 2013
http://panglimabanjar.blogspot.com,
diakses tanggal 27 November 2013
http://ramlinawawiutun.blogspot.com, diakses
tanggal 27 November 2013
[1]
“Perkembangan Islam di Kalimantan” dalam http://ramlinawawiutun.blogspot.com/2009/04/perkembangan-islam-di-kalimantan.html, diakses
tanggal 27 November 2013 Pukul 10:51 WIB
[2] “Perkembangan Islam di Kalimantan”
dalam http://ramlinawawiutun.blogspot.com/2009/04/perkembangan-islam-di-kalimantan.html, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10:51
WIB
[3] “Perkembangan
Islam di Kalimantan” dalam http://ramlinawawiutun.blogspot.com/2009/04/perkembangan-islam-di-kalimantan.html, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10:51
WIB
[4]“Kebudayaan Banjarmasin” dalam http://ayu-septiningrum.blogspot.com/2011/11/kebudayaan-banjarmasin.html, diakses tanggal 28 November 2013 Pukul 11:06
WIB
[5] “Kebudayaan Banjarmasin” dalam http://panglimabanjar.blogspot.com, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10.51
WIB
[6] “Baayun Mulud Upacara Adat Suku Banjar
Kalimantan Selatan” dalam http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2675/baayun-mulud-upacara-adat-suku-banjar-kalimantan-selatan, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10.58
[7]“Baayun Mulud Upacara Adat Suku Banjar
Kalimantan Selatan” dalam http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2675/baayun-mulud-upacara-adat-suku-banjar-kalimantan-selatan, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10.58
[8] “Baayun
Mulud Upacara Adat Suku Banjar Kalimantan Selatan” dalam http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2675/baayun-mulud-upacara-adat-suku-banjar-kalimantan-selatan, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10.58
[9] “Baayun Mulud Upacara Adat Suku Banjar
Kalimantan Selatan” dalam http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2675/baayun-mulud-upacara-adat-suku-banjar-kalimantan-selatan, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10.58
[10] “Lunturnya Budaya Lokal dalam Upacara khitan
Muslim Banjar” http://historycommunity.wordpress.com/2009/04/03/lunturnya-budaya-lokal-dalam-upacara-khitan-muslim-banjar, diakses tanggal 27 November 2013 pukul 10:51
WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar