Selasa, 03 Desember 2013

BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang

Provinsi Kalimantan Selatan merupakan provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam di Pulau Kalimantan. Di sana berdiri kerajaan Islam salah satunya yaitu Kerajaan Banjar atau Kesultanan Banjar. Hikayat Banjar sebagai salah satu sumber yang banyak dipakai dalam mempelajari sejarah Banjar, memerlukan seleksi hati-hati karena selain terdapat unsur-unsur legindaris juga ia merupakan dokumen kerajaan yang ditulis atas perintah raja yang tidak bisa dilepaskan dengan politik raja yang berkuasa. Tidak ada disebutkannya tahun-tahun peritiwa atau masa pemerintahan raja-raja di Kerajaan Banjar dalam Hikayat tersebut, menyebabkan penulis-penulis sejarah tentang Banjar masih terdapat perbedaan tentang masa-masa pemerintahan raja-raja tersebut.
Kebudayaan lokal yang dimiliki daerah Banjarmasin juga banyak sekali seperti seni bangunan, seni tulis, seni tari, tradisi-tradisi lainnya. Budaya-budaya tersebut sebagian sudah mengalami akulturasi dari kebudayaan lain seperti budaya Islam yang masuk di daerah Banjarmasin dan ada juga budaya yang luntur akibat budaya-budaya modern yang lebih praktis dan maju.
2.    Rumusan Masalah

a.       Bagaimana sejarah Islam masuk ke Banjarmasin?
b.      Apakah ada kerajaan Islam di Banjarmasin?
c.       Apa budaya lokal di Banjarmasin?
d.      Apa budaya lokal terakulturasi dengan budaya baru di Banjarmasin?
3.    Tujuan penulisan

a.       Untuk mengetahui sejarah Islam masuk ke Banjarmasin.
b.      Untuk mengetahui kerajaan Islam di Banjarmasin.
c.       Untuk mengetahui budaya lokal di Banjarmasin.
d.      Untuk mengetahui budaya lokal terakulturasi dengan budaya baru di Banjarmasin.



BAB II
PEMBAHASAN

A.   MASUKNYA ISLAM DI BANJARMASIN
Penduduk asli Pulau Kalimantan disebut orang Dayak. Orang Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan tersebut terdiri atas beberapa suku. Masing-masing suku mempunyai kepercayaan masing-masing. Tetapi pada dasarnya kepercayaan mereka itu mempunyai persamaan-persamaan yang banyak. Istilah yang populer menyebut kepercayaan mereka adalah kepercayaan Kaharingan. Penduduk asli tersebut kemudian terdesak ke arah pedalaman. Di pesisir barat terdesak oleh orang-orang Melayu dan Cina, di selatan terdesak oleh orang-orang Melayu dan orang-orang Jawa, dan di bagian tenggara terdesak oleh orang-orang Bugis, Makasar dan Sulu.
Awal masuknya Islam ke Kalimantan Selatan tidak bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Banjar tetapi masuknya Islam sendiri ada sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar. Data-data yang menunjukkan bahwa Islam telah masuk dan dikenal orang Banjar di antaranya yaitu:
a.       Adanya pedagang Gujarat dan pedagang Cina yang sudah beragama Islam, yang pada sekitar awal abad ke 15 dalam perjalanan mereka singgah di pelabuhan-pelabuhan Kalimantan Selatan.
b.      Adanya berita tentang pedagang Islam dari Jawa (Raden Paku) yang pernah singgah dan berdagang di pelabuhan Banjarmasin.
c.       Adanya anjuran Patih Masih agar Raden Samudera meminta bantuan kepada Sultan Demak.
d.      Adanya kelompok pedagang dari luar seperti orang Melayu, orang Cina, orang Bugis, orang Makasar, orang Jawa, yang menyatakan membantu raden Samudera ketika timbul perlawanan terhadap Pangeran Tumenggung.
Dengan demikian agama Islam yang masuk ke Kalimantan Selatan ini, berkembang pada masa permulaannya di kalangan masyarakat yang sebelumnya telah dipengaruhi oleh unsur-unsur Kaharingan dan Syiwa-Budha. Agama Islam yang masuk itu kemudian dianut oleh sebagian besar masyarakat Kalimantan Selatan, yang sebelumnya telah menganut kepercayaan Kaharingan, agama Syiwa-Budha dari agama-agama tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa ajaran-ajaran Islam yang mula-mula berkembang di daerah Kalimantan Selatan ini, menghadapi pengaruh dari unsur-unsur kepercayaan tersebut.
B.  KERAJAAN ISLAM DI BANJARMASIN
Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam pertama di Kalimantan selatan yang terbentuk pada permulaan abad ke-16 setelah Islam datang ke Banjarmasin.  Kerajaan Banjar adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terakhir di Martapura.
Kerajaan Banjarmasin pada hakekatnya adalah lanjutan dari Kerajaan Negara Daha. Maharaja Sukarama yang menggantikan Sekar Sungsang raja pertama di Negara Daha telah mewasiatkan kepada Patih Aria Tarenggana bahwa apabila ia meninggal maka yang berhak menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera. Sepeninggalnya Maharaja Sukarama di Negara Daha terjadi kekacauan. Pangeran Mangkubumi salah seorang putranya berusaha untuk naik tahta. Maka untk keselamatan Raden Samudera, Patih Aria Terenggana menyuruhnya agar meninggalkan istana. Karena itu Raden Samudera kemudian harus hidup menyamar sebagai anak nelayan. Karena suatu fitnah kemudian dibunuh oleh Pangeran Tumenggung, adiknya sendiri. [1]
Sementara itu Patih Masih penguasa bandar di Banjarmasih (Banjarmasin) yang mengetahui perihal nasib Raden Samudera kemudian mencarinya untuk dirajakan. Selanjutnya terdapat kesepakatan lima orang Patih, yakni Patih Masih, Patih Muhur, Patih Balit, Patih Kuwin dan Patih Balitung untuk merajakan Raden Samudera di daerah Banjar. Kesepakatan itu didasari pertimbangan-pertimbangan:
a).  Raden Samudera mempunyai hak atas kerajaan, karena wasiat Maharaja Sukarama agar cucunya (Raden Samudera) yang menggantikannya.
b).  Patih Masih dan patih-patih lainnya di daerah Banjar, hendak melepaskan diri terhadap kewajiban senantiasa mengantar upeti ke Negara Daha.
c). Sehubungan dengan kepentingan perekonomian daerah, Patih Masih hendak memindahkan kegiatan perdagangan dari bandar Muara Bahan ke daerah Banjar.
Tindakan para Patih yang bersepakat merajakan Raden Samudera tersebut, menyebabkan timbulnya pertentangan antara Negara Daha dengan Banjarmasih. Dalam usaha menyeleikan pertentangan tersebut, Raden Samudera atas anjuran Patih Masih meminta bantuan kepada Kerajaan Islam Demak. Sultan Demak mau membantu Raden Samudera dengan syarat apabila menang Raden Samudera bersedia masuk islam. Kelompok-kelompok yang membantu Raden Samudera dalam prang melawan Pangeran Tumenggung adalah:
1. Seribu orang Demak;
2. Rakyat daerah-daerah yang dahulu menjadi taklukan Maharaja Sukarama, daerah-daerah itu adalah: Sambas, Batang Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pambuang, Sampit, Mandawai, Sebangau, Biaju Besar, Biaju Kecil, Karasikan, Kutai, Berau, Pasir, Pamukan, Pulau Laut, Satui, Hasam-hasam, Kintap, Sawarangan, Tambangan Laut, dan Tabanio.
3. Kelompok pedagang, yakni orang Melayu, orang Cina, orang Bugis, orang Makasar, orang Jawa yang ada di Banjarmasih.[2]
Akhir dari pertentangan antara Raden Samudera dengan Pangeran Tumenggung tersebut terjadi dalam suatu insiden di atas perahu telangkasan, di mana Pangeran Tumenggung menyerahkan tahtanya kepada Raden Samudera, karena tergetar hatinya menyaksikan kemanakannya merelakan dirinya dan menyatakan dirinya tidak mau melawannya. Peristiwa tersebut dikuti dengan penyerahan peralatan kerajaan untuk dibawa ke Banjarmasin. Selanjutnya Raden Samudera menyerahkan daerah Batang Amandit dan Batang Alai untuk tetap diatur oleh pamannya Pangeran Tumenggung. Raden Samudera menetapkan pusat kerajaan itu di Banjarmasin. Ia kemudian diislamkan oleh seorang Penghulu dari Demak. Dan oleh seorang Arab ia diberi nama Sultan Suriansyah. Kerajaan yang dibangun Sultan Suriansyah dan berpusat di Banjarmasin (Kuin) tersebut oleh Sultan Banjar ke empat (Sultan Mustainullah) ibu kota kerajaan dipindahkan ke Martapura. Perpindahan tersebut didasari pertimbangan-pertimbangan bahwa di tempat itu selain tanahnya bertuah, maka karena tempatnya jauh di pedalaman akan sukar didatangi oleh orang-orang yang tidak beragama Islam. Salah seorang Sultan Banjar yang dalam masa pemerintahannya berusaha menanamkan ajaran Islam kepada rakyatnya adalah Sultan Adam (1825-1857). Melalui Undang-Undang kerajaan yang terkenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam, ia menyuruh sekalian rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan agar ber-i’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah dan melarang ber-i’tiqad ahlal bidaat.
Pada waktu itu di ibu kota Kerajaan Banjar hidup seorang ulama besar bernama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Usahanya dalam menyebarkan Islam di daerah Kerajaan Banjar pada waktu itu dimulai dengan melakukan pengajian, kemudian menyebarkan anak cucunya (muridnya) yang telah memperoleh kealiman ke daerah-daerah pedalaman, di samping itu menulis kitab-kitab agama dalam bahasa Melayu dengan aksara Arab. Di mana mereka tinggal maka di tempat itupun kemudian berlangsung pula pengajian. Demikianlah kemudian pengajian-pengajian yang diselenggarakan anak cucu Syekh Muhammad Arsyad tidak hanya terdapat dalam wilayah Kalimantan Selatan, tetapi juga terdapat di Pontianak Kalimantan Barat, bahkan ada cucu beliau yang bernama Syekh Haji Abdurrahman Siddiq yang menyelenggarakan pengajian sambil melakukan pembukaan tanah tanah pertanian/perkebunan di Sapat-Tambilahan.[3]
C.  BUDAYA LOKAL DI BANJARMASIN
1.      Rumah Banjar
Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai lambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris. Rumah tradisional Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Dari sekian banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku Banjar. [4]
Dulu, rumah adat ini merupakan tempat tinggal Sultan Banjar sehingga menduduki tingkat tertinggi dari seluruh tipe rumah adat Banjar lainnya. Disebut Rumah Bubungan Tinggi karena bubungan atapnya berbentuk lancip dengan sudut 45 derajat  menjulang tinggi ke atas. Rumah Bubungan Tinggi ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar dipimpin oleh Sultan Suriansyah atau yang bergelar Panembahan Batu Habang (1596–1620 Masehi).
Dari segi fisik, bentuk bangunan Rumah Bubungan Tinggi diibaratkan tubuh manusia yang terdiri dari 3 bagian. Secara vertikal, rumah adat yang berbentuk rumah panggung ini terdiri dari kolong rumah (bawah) yang melambangkan kaki, badan rumah (tengah) yang melambangkan badan, dan atap rumah (atas) yang melambangkan melambangkan kepala. Secara horizantal, anjungan yang berada di sisi kanan dan kiri melambangkan tangan kanan dan kiri.
Dari segi filosofi, bentuk rumah melambangkan perpaduan antara dunia atas dan bawah, sedangkan penghuninya berada di antara kedua dunia tersebut. Filosofi ini lahir dari kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta terdiri dari dua bagian yaitu alam atas dan bawah. Wujud filosofi ini terlihat pada ornamen-ornamen rumah adat Banjar seperti ukiran burung enggang sebagai lambang dunia atas, dan ukiran naga sebagai lambang dunia bawah.[5]
Selain itu, ornamen-ornamen yang ada pada bangunan Rumah Bubungan Tinggi juga dipengaruhi oleh unsur budaya suku Dayak dan Islam. Ornamen yang dipengaruhi oleh unsur budaya suku Dayak umumnya menggunakan motif flora dan fauna, seperti buah manggis, belimbing, mengkudu, dan nanas. Sedangkan motif tanaman yang digunakan memiliki manfaat, baik untuk bahan makanan maupun obat-obatan seperti tanaman kangkung, jamur, cengkeh, tunas bambu (rebung), sirih, sebagainya. Ada juga yang menggunakan motif dari tanaman yang biasa digunakan dalam upacara-upacara adat seperti bunga cempaka, kenanga, pakis, mawar, dan sebagainya. Sementara itu, unsur budaya Islam terlihat pada ukiran-ukiran kaligrafi Arab seperti kalimat syahadat, nama-nama khalifah, shalawat, maupun ayat-ayat tertentu dalam Al Qur’an.
2.      Tradisi lisan
Tradisi lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah (ﻤﺪﺡ) yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya menggunakan bahasa Tionghoa. Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.
D.  AKULTURASI BUDAYA LOKAL
1.    Baayun Mulud
Upacara Baayun Mulud atau Baayun Anak adalah salah satu dari rangkaian upacara daur hidup yang berlaku di dalam tradisi orang-orang banjar yang sebagian besar berdomisili di Kalimantan Selatan. Selain sebagai tradisi yang menjadi rangkaian dari upacara daur hidup urang (orang) Banjar, juga dapat dijadikan sebagai sarana upacara tolak balak.
Masyarakat Suku Banjar yang mendiami daerah Kalimantan Selatan dikenal sebagai kelompok suku bangsa yang berkehidupan religius. Meskipun demikian, orang Banjar juga masih memegang teguh tradisi dan adat-istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Penerapan adat-istiadat tersebut, misalnya terlihat pada tahapan siklus kehidupan orang Banjar (dan juga Dayak) yang dahulu menganut ajaran kepercayaan Kaharingan dengan pola hidup yang berdasarkan keyakinan kepada ajaran nenek moyang.
Seiring dengan masuk dan berkembangnya ajaran agama Islam dalam kehidupan orang Banjar, terjadilah proses alkulturasi antara ajaran yang dibawa oleh para penyebar agama Islam dengan kebudayaan lokal yang sudah ada sebelumnya, salah satunya dalam penyelenggaraan upacara Baayun mulud atau Baayun Anak. Rangkaian upacara daur hidup itu sendiri meliputi upacara kehamilan, kelahiran, masa anak-anak menjelang dewasa, perkewinan, dan kematian. Upacara Baayun Mulud termasuk ke dalam upacara yang ditujukan untuk anak-anak menjelang dewasa tepatnya ketika anak antara 0-5 tahun.
Sebelum beralkulturasi dengan ajaran Islam, upacara Baayun Anak dilaksanakan sebagai sarana atau media untuk mengelkan si anak kepada Datu Ujang, yakni sosok leluhur yang digambarkan sakti mandraguna dan memilki pengaruh sangat besar. Orang Banjar pada zaman dahulu menyakini bahwa anak-anak mereka bisa memperoleh keberkatan dalam hidupnya, tidak mudah menangis dan terhindar dari segala marabahaya. Untuk itu, pada zaman dahulu, setiap anak harus melelui upacara Baayun Anak sebagai tanda penghormatan dan sekaligus memberi persembahan kepada Datu Ujang.[6]
Pada perkembangannya, penerapan upacara adat baayun Anak berakulturasi dengan dakwah ajaran Islam. Penghormatan yang sebelumnya dipersembahkan kepada leluhur, diselaraskan dengan ajaran Islam, yakni agar si anak mendapat sifat-sifat baik seperti yang dimiliki oleh Nabi Muhammad. Selaras dengan itu, namanya pun berganti dari Baayun Anak menjadi Baayun Mulud karena ritual adat ini diselanggarakan pada setiap bulan Mulud atau Rabi’ul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad. Jika diuraikan dari namanya, istilah “Baayun Mulud” terdiri dari dua kata yaitu “baayun” dan ‘mulud”. Kata “baayun” berarti melakukan aktivitas ayunan atau buaian, atau kegiatan mengayun bayiyang biasanya dilakukan oleh seseorang untuk menidurkan anaknya. Sedangkan kata “mulud”, berasal dari bahasa arab “maulud”, merupakan ungkapan masyarakat Arab untuk mnyebut peristiwa kelahiran Nabi Muhammad. Dengan demikian, istilah Baayun Mulud mempunyai arti sebagai   kegiatan mengayun anak (bayi) sebagai ungkapan syukur atas kelhiran Nabi Muhammad. [7]
Tradisi ini rutin diselenggarakan setiap tahun, pada setiap tanggal 12 bulun Mulud atau Rabi’ul Awal tahun Hijriyah untuk menyambut dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Akan tetapi, jika upacara Baayun Mulud dilaksanakan tanggal tersebut juga diperbolehkan. Upacara ini biasanya dimulai pada sekitar pukul 10.00 pagi. Upacara ini dilakukan ketika anak berusia 0-5 tahun. Namun biasanya, saat bayi berusia 40 hari, upacara ini sudah diselenggarakan . Tempat pelaksanaannya ada yang diselenggarakan di rumah, namun bisa juga di balai desa, masjid, atau di tempat yang lapang secara massal.
Peralatan dan Bahan
a.       Ayunan
Dibuat dari tapih bahalai atau kain sarung wanita yang pada ujungnya diikat dengan tali atau pengait. Ayunan ini biasanya digantung pada penyangga ruangan tengah rumah. Pada tali tersebut diikatkan Yasin, daun jariangau, kacang parang, dan ketupat Guntur, dengan tujuan sebagai penangkal jin (makhluk halus) atau penyakit yang dapat mengganggu bayi. Posisi bayi yang diayun ada yang berbaring da nada pula posisi duduk dengan istilah “dipukung”. Kain ayunan ini terdiri atas 3 (tiga) lapis. Lapisan paling atas mengunakan kain sasaringan (kain tenun khas Banjar) bermotif bahindang (pelangi), lapisan tengah menggunakan kain kuning (kain belacu yang diberi warna kuning dari sari kunyit) dan lapisan paling bawah memakai kain bahalai (kain panjang tanpa sambungan jahitan).
b.      Hiasan Ayunan
Hiasan ayunan terdiri dari janur pohon nipah atau pohon kelapa atau pohon enau. Jenis-jenis hiasan ayunan yang dipersiapan dalam pelaksanaan yang dipersiapkan dalam pelaksanaan upacara adat Baayun Mulud antara lain tangga puteri tangga pangeran, paying singgasana, patah kankung, kembang serai, gelang-gelang atau rantai dan lain-lain.
c.         Piduduk
Piduduk adalah syarat upacara yang berupa bahan-bahan mentah. Bahan-bahan yang termasuk piduduk antara lain 3,5 liter beras, 1 biji gula merah, sedikit garam (untuk anak laki-laki) atau sedikit garam ditambah dengan minyak goreng (untuk anak perempuan).
d.        Sesaji
Sesaji adalah perlengkapan atau syarat upacara. Sesaji yang diperlukan dalam perlaksanaan upacara adat Baayun Mulud antara lain telur dan nasi lamak (lakatan) atau nasi ketan bersantan. Sesaji disajikan di dalam piring yang diisi dengan susunan nasi lamak, kue apem, kue cucur, inti kelapa, telur rebus, papari, pisang dan tape ketan. Sesaji lainnya dan piduduk ditempatkan pada sebuah ember kecil, yakni berupa beras, buah kelapa yang sudah dikupas kulitnya, sebungkus garam dan gula merah.[8]
Nilai-nilai
a.         Meneladani dan mengambil berkah atas keluhuran dan kemuliaan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad.
b.         Wujud nyata kearifan lokal dalam menerjemahkan hadits dan perintah Nabi untuk menuntut ilmu sejak dari buain (ayunan).
c.         Sebagai pelestarian tradisi leluhur namun dengan menjaga nilai-nilai keislaman.
d.        Sebagai salah satu upaya untuk mewariskan dan mengenalkan tradisi urang Banjar generasi muda penerus bangsa. [9]
2.    Basunat
Di Kalimantan Selatan, istilah khitan dikenal dengan luas dengan sebutan basunat, yaitu merupakan hal yang penting , bahkan keislaman seseorang belum dianggap sempurna apabila orang tersebut belum basunat. Oleh karena itu orang- orang Banjar sejak masih anak- anak laki- laki berusia kira- kira 6-12 tahun dan anak perempuan (usianya yang lebih muda dari laki- laki) telah disunat.
Ritual sunat dalam tradisi banjar memiliki makna dan arti yang penting. Karena itulah dalam prakteknya upacara basunat ini diiringi dengan ritual budaya lokal masyarakat banjar yang sangat kental dengan agama Islam. Dalam tradisi Banjar, sejak zaman dulu praktek khitan diiringi dengan upacara atau ritual yang berhubungan erat dengan unsur religi dan budaya lokal. Pada khitan anak laki-laki misalnya pertama-tama sebelum disunat, si anak terlebih dulu dicukur, kemudian dimandikan. Setelah itu si anak memekai sarung dan perhiasan wanita. Untuk persiapan pelaksanaan upacara, terlebih dahulu disediakan piduduk, yaitu lilin, beras, pisau, gula aren dan kelapa. Setelah semuanya siap, si anak kemudian disunat oleh tukang sunat yang handal dan disaksikan oleh beberapa orang kerabat dekat. Kemudian sebagai tanda bersyukur karena upacara telah selesai, pada malam harinya diadakan acara selamatan mengundang masyarakat sekitar. Selamatan diisi dengan pembacaan syair Maulid Nabi.[10]
Namun seiring perkembangan zaman, budaya lokal muslim banjar mulai luntur dan jarang dilaksanakan untuk mengiringi praktek khitan. Hal ini disebabkan karena ada cara baru yang lebih mudah dalam mengkhitan anak dan tentunya tidak perlu repot- repot harus mengguakan syarat- syarat yang terikat dengan tradisi. Cara baru yang lebih mudah yaitu Orang tua tinggal membawa sang anak ke dokter atau rumah sakit untuk dikhitan. Disana, si anak sudah ditangani oleh dokter atau mantri yang ahli dan tentunya dengan perlengkapan para medis yang modern.
Dalam hal ini perubahan upacara ritual khitan masyarakat muslim banjar telah dipengaruhi oleh proses modernisasi, yaitu perkembangan praktek khitan yang menawarkan cara lebih mudah dan praktis. Dengan unsur mudernisasi ini perlahan- lahan unsur religi dan budaya lokal mulai terkikis, seiring dengan perkembangan zaman yang terus bergerak maju.





















BAB III
KESIMPULAN

Masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan tidak identik dengan berdirinya Kerajaan Banjar (Banjarmasin) di antaranya yaitu Islam masuk ke Kalimantan Selatan setidak-tidaknya pada awal abad ke 15, bersama datangnya pedagang-pedagang Gujarat dan Cina yang singgah berdagang di bandar-bandar Kalimantan Selatan dan Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam pertama di Kalimantan selatan. Rajanya bernama  Raden Samudera, yang setelah beragama Islam bernama Sultan Suriansyah.
Kebudayaan lokal yang ada di Banjarmasin di antaranya seni bangunan berupa Rumah Banjar yang biasa disebut Rumah Bubungan Tinggi. Rumah ini pada awalnya adalah rumah para kesultanan Banjar. Seni lisan pada waktu itu berupa puisi sebagai hiburan para rakyat. Kemudian Baayun Mulud adalah salah satu dari budaya yang mengalami akulturasi dari budaya Islam. Salah satu budaya yang mulai luntur pada saat ini adalah basunat (khitan) dikarenakan perkembangan zaman yang lebih modern.
DAFTAR PUSTAKA

http://ayu-septiningrum.blogspot.com, diakses tanggal 28 November 2013
http://historycommunity.wordpress.com, diakses tanggal 27 November 2013
http://melayuonline.com, diakses tanggal 27 November 2013
http://panglimabanjar.blogspot.com, diakses tanggal 27 November 2013
http://ramlinawawiutun.blogspot.com, diakses tanggal 27 November 2013


[1] “Perkembangan Islam di Kalimantan” dalam http://ramlinawawiutun.blogspot.com/2009/04/perkembangan-islam-di-kalimantan.html, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10:51 WIB
[2] “Perkembangan Islam di Kalimantan” dalam http://ramlinawawiutun.blogspot.com/2009/04/perkembangan-islam-di-kalimantan.html, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10:51 WIB
[3]   “Perkembangan Islam di Kalimantan” dalam http://ramlinawawiutun.blogspot.com/2009/04/perkembangan-islam-di-kalimantan.html, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10:51 WIB
[4]“Kebudayaan Banjarmasin” dalam http://ayu-septiningrum.blogspot.com/2011/11/kebudayaan-banjarmasin.html, diakses tanggal 28 November 2013 Pukul 11:06 WIB
[5] “Kebudayaan Banjarmasin” dalam http://panglimabanjar.blogspot.com, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10.51 WIB
[6] “Baayun Mulud Upacara Adat Suku Banjar Kalimantan Selatan” dalam http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2675/baayun-mulud-upacara-adat-suku-banjar-kalimantan-selatan, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10.58
[7]“Baayun Mulud Upacara Adat Suku Banjar Kalimantan Selatan” dalam http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2675/baayun-mulud-upacara-adat-suku-banjar-kalimantan-selatan, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10.58
[8]  “Baayun Mulud Upacara Adat Suku Banjar Kalimantan Selatan” dalam http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2675/baayun-mulud-upacara-adat-suku-banjar-kalimantan-selatan, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10.58
[9] “Baayun Mulud Upacara Adat Suku Banjar Kalimantan Selatan” dalam http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2675/baayun-mulud-upacara-adat-suku-banjar-kalimantan-selatan, diakses tanggal 27 November 2013 Pukul 10.58
[10] “Lunturnya Budaya Lokal dalam Upacara khitan Muslim Banjar” http://historycommunity.wordpress.com/2009/04/03/lunturnya-budaya-lokal-dalam-upacara-khitan-muslim-banjar, diakses tanggal 27 November 2013 pukul 10:51 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar